renungkan Sejarah Alquran
From: jamiliw
Subject: Kiriman Artikel: renungkan Sejarah Alquran
Date: Friday, November 21, 2003 11:12 AM
Berikut kiriman berita dari teman Anda yang beralamat di:
<dipadam>-------------------------------------
Pesan pengirim:
Moga ada manfaat.
-------------------------------------
IslamLib.com, Senin,
17 November 2003
renungkan Sejarah Alquran
Oleh: Luthfi Assyaukanie
Bulan Ramadhan adalah bulan Alquran dan sekaligus merupakan bulan
puji-pujian terhadap kitab suci ini. Tanggal 17 Ramadhan dianggap sebagai puncak
dari ritual pengagung-agungan terhadap Alquran, karena pada tanggal inilah
Alquran diyakini diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Di bulan yang suci
ini, saya ingin renungkan sejarah Alquran yang panjang, yang berproses, yang
berjuang dengan berbagai tantangan zaman, hingga jadi wujud dalam bentuknya
yang kita kenal sekarang.
Pengkajian sejarah Alquran bukan hanya
dimaksudkan untuk mengungkap dimensi-dimensi tersembunyi yang selama ini tak
terpikirkan oleh umat Islam, tapi juga merupakan modal intelektual untuk
memahami kitab suci yang hingga hari ini terus jadi sumber inspirasi hukum
dan moral kaum Muslim. Saya ingin berangkat dari sebuah pijakan bahwa kajian
ilmiah tidaklah merusak akidah. Kajian ilmiah juga tidak bertentangan dengan
semangat dasar Islam yang mendukung kebenaran dan menjunjung tinggi kebebasan.
* * *
Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran dari
halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya
(ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca
hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat
ratus tahun silam.
Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan
formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para
ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah
penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang
delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan
rekayasa.
Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya
adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan
pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan
menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis
dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan
(diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.
Hadirnya mesin
cetak dan teknik penandaan bukan saja buat Alquran jadi lebih mudah dibaca
dan dipelajari, tapi juga telah membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya
beredar jadi satu standar bacaan resmi seperti yang kita kenal
sekarang.
Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang pertamakali
dalam upaya standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para khalifah dan
penguasa Muslim juga turun-tangan lakukan hal yang sama, kerap didorong oleh
keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul akibat
beragamanya versi Alquran yang beredar.
Tapi pencetakan tahun 1924 itu
adalah ikhtiyar yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil
dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti
kemudian, Alquran Edisi Mesir itu merupakan versi Alquran yang paling banyak
beredar dan digunakan oleh kaum Muslim.
Keberhasilan penyebarluasan
Alquran Edisi Mesir tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada
masa-masa sebelumnya, kodifikasi dan standarisasi Alquran adalah karya institusi
yang didukung oleh --dan jadi bagian dari proyek-- penguasa politik.
Alasannya sederhana, sebagai proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran
Alquran tak akan efektif jika tidak didukung oleh lembaga yang miliki dana
yang besar.
Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia
mencetak ratusan ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari
proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi kitab
suci. Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan
perintah membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya
(kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar
Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi
lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).
Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada satu versi Alquran, yakni
versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini benar-benar terwujud (entah
kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru) boleh mendeklarasikan bahwa
mereka miliki satu Alquran yang utuh dan seragam.
Edisi Mesir adalah
salah satu dari ratusan versi bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang
sejarah perkembangan kitab suci ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari
tiga versi bacaan yang bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi
Warsh dari Nafi yang banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak
beredar di Kufah, dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah.
Edisi Mesir adalah edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim.
Versi
bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada
awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara
membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah
lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan
dibukukan.
Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah ketiga,
perintah satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf
Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan --kalau bukan ratusan-- mushaf
yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi miliki
mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan,
susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.
Ibn Mas’ud,
seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, miliki mushaf Alquran yang tidak
menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380
H), pengarang kitab al-Fihrist, mushaf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah 113
dan 114. Susunan surahnyapun berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya,
surah keenam bukanlah surah al-An’am, tapi surah Yunus.
Ibn Mas’ud
bukanlah seorang diri yang tidak menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari
Alqur’an. Sahabat lain yang menganggap surah “penting” itu bukan bagian dari
Alquran adalah Ali bin Abi Thalib yang juga tidak masukkan surah 13, 34, 66,
dan 96. Hal ini memancing perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah
merupakan bagian dari Alquran atau ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang
esensinya bukanlah bagian dari kitab suci.
Salah seorang ulama
besar yang menganggap al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu
Bakr al-Asamm (w. 313 H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini
berargumen bahwa al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan
Alqur’an. Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa
awal-awal Islam. Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: “siapa saja yang tidak
memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain bismillah] maka
pekerjaannya jadi sia-sia.”
Perbedaan antara mushaf Uthman dengan
mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang
dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata
berikut: “pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman
lakukan kodifikasi, jumlahnya jadi seperti sekarang [yakni 73 ayat].”
Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka’b, sahabat Nabi yang lain, yang
di dalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf Uthman, yakni
surah al-Khal’ dan al-Hafd.
Setelah Uthman lakukan kodifikasi dan
standarisasi, ia perintah agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf
Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil
dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk
buku-buku ‘ulum al-Qur’an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang
baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa
puluh tahun kemudian.
Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu
secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari
memori mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih
banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan
yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan
(kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah,
adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu.
Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup
kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).
Sejarah penulisan Alqur’an
mencatat nama-nama Ibn Amir (w. 118 H), al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207
H); Ibn Hisyam (w. 229 H), Abi Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn
Abi Daud (w. 316 H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf
klasik dalam karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau
ikhtilaf al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil kumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi
dan 11 mushaf para pengikut (tabi’in) sahabat Nabi.
Munculnya
kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang
disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda
baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam
Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak
sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan
non-Uthmani.
Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang
menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim
pada saat itu umumnya lakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan
kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian
muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta
defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca
yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga jadi na’lamu, ta’lamu atau
bi’ilmi.
Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata akibat
pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat. Misalnya,
mushaf Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang “ihdina”
(keduanya berarti “tunjuki kami”) yang biasa didapati dalam mushaf Uthmani.
Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti “siapa”). Daftar
ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda, seperti “al-talaq”
jadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” jadi “famdhu” (Ibn Mas’ud),
“linuhyiya” jadi “linunsyira” (Talhah), dan sebagainya.
Untuk
mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah
Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, perintah Ibn
Mujahid (w. 324 H) lakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua
mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para
qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu
Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini
berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa “Alquran diturunkan dalam tujuh
huruf.”
Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid dan
menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang dianggap
lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu memang
sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn Shanabudh
yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya rivalitas
di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh.
Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya pengaruh. Sejarah
buktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa itulah yang kini
diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi jadi 10 atau 14
varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu varian dari
apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan. Yakni varian bacaan
Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain, tak tentu nasibnya. Jika
beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang sirkulasi dan
pengaruhnya sangat terbatas.
***
Apa yang bisa dipetik dari
perkembangan sejarah Alquran yang saya paparkan secara singkat di atas? Para
ulama, khususnya yang konservatif, merasa khawatir jika fakta sejarah semacam
itu dibiarkan diketahui secara bebas. Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan
mengaburkan sejarah, atau dengan beri apologi-apologi yang sebetulnya
tidak menyelesaikan masalah, tapi justru buat permasalahan baru.
Misalnya, dengan menafsirkan hadis Nabi “Alquran diturunkan dalam tujuh
huruf” dengan cara menafsirkan “huruf” sebagai bahasa, dialek, bacaan,
prononsiasi, dan seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa. Saya
sependapat dengan beberapa sarjana Muslim modern yang mengatakan bahwa
kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar. Tapi, alih-alih
menjelaskan, ia malah justru mengaburkan.
Mengaburkan karena jumlah
huruf (bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi), lebih dari tujuh. Kalau dikatakan
bahwa angka tujuh hanyalah simbol saja untuk menunjukkan “banyak,” ini lebih
parah lagi, karena menyangkut kredibilitas Tuhan dalam sampaikan
ayat-ayatnya.
Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian bacaan,
baik yang berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan dan
tatabahasa) merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika tidak
terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab, karena
ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam yang sangat
dinamis.
Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran dari surah
al-Fatihah hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang diturunkan
kepada Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma’nan)? Seperti saya katakan di
atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang diciptakan oleh para
ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang pembentukan ortodoksi
Islam.
Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah
kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses
“copy-editing” oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin
cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah manusiawi belaka
dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi khazanah
spiritual yang mereka miliki.
Saya kira, varian-varian dan perbedaan
bacaan yang sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai
upaya kaum Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang
mengatribusikannya secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang
filsuf kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suci-- selalu bersifat
“repressive, violent, and authoritarian.” Satu-satunya cara selamatkannya
adalah dengan membebaskannya.
Generasi awal-awal Islam telah
lakukan pembebasan itu, dengan ciptakan varian-varian bacaan yang sangat
kreatif. Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pembentukan Alquran,
saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu
saja dengan lakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.
Luthfi Assyaukanie. Dosen Sejarah Pemikiran Islam di
Universitas Paramadina, Jakarta, dan Editor Jaringan Islam Liberal.
Versi asli dapat dibaca di:
http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=447
Terima
kasih atas kiriman saudara yang bertujuan berkongsi manfaat.
Merdeka!
31 Ogos 2004
Halaman Utama
Terkini Perpustakaan
Artikel Bacaan
E-Mail
Hiasan
Kalimat Pilihan
Keratan Akhbar
Penemuan
Soalan Lazim
Sudut Pelajar
Senarai Penulis English
Articles
Tulis kepada Pengurus
Laman